Jumat, 05 Agustus 2016

MEMBERSIHKAN MASJID

MELAKSANAKAN ibadah shalat baik munfarid maupun berjamaah, i’tikaf, mengkaji ilmu, berdzikir, tilawah Al-Qur’an, atau majlis ta’lim merupakan bagian dari kegiatan memakmurkan masjid. Namun demikian, ada sisi lain yang terlupakan dari memakmurkan masjid, yakni “memakmurkan” jamban dan lingkungan seputar masjid.
Suatu kenyataan yang tak terbantahkan, masih sedikit jumlah  jamban dan lingkungan sekitar masjid yang nyaman. Pada umumnya pengunjung masjid harus menutup hidung rapat-rapat tatkala masuk jamban masjid yang kotor dan bau. Banyak pengunjung masjid masih belum sadar, “memakmurkan” dalam arti memelihara kebersihan jamban masjid merupakan langkah awal memakmurkan masjid. Lebih dari itu, menjaga kebersihan dan lingkungan sekitar masjid merupakan bukti nyata bahwa seseorang benar-benar mencintai masjid, dan perbuatan ini amat berharga di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
 “Telah diperlihatkan kepadaku berbagai macam pahala amal umatku, bahkan sampai pahala orang yang membuang kotoran/sampah dari masjid. Demikian pula telah diperlihatkan kepadaku berbagai balasan terhadap dosa, dan aku tidak melihat dosa yang lebih besar daripada seseorang yang telah menghafal suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, kemudian ia melupakannya” (H. R. Abu Daud, Sunan Abu Daud Juz I : 461 hadits nomor 461).
Dalam hadits lain disebutkan, “Telah diperlihatkan kepadaku balasan terhadap kebaikan dan kejelekan yang diperbuat umatku. Aku menemukan amal terbaik umatku yakni orang yang membuang duri/sampah dari jalan, dan amal terjelek umatku adalah orang yang menemukan sampah di dalam/sekitar masjid, namun ia membiarkannya.”
Rasulullah saw sangat mengistimewakan orang yang mau menyisihkan waktu dan tanaganya untuk membersihkan masjid. Dalam sejarah kehidupannya, beliau menghargai seorang wanita renta, Ummu Mahjan. Ia dimuliakan Rasulullah saw karena jasanya membersihkan masjid. Ketika sang wanita tersebut wafat, Rasulullah saw menegur para sahabat karena tidak memberitahukan kematiannya.
“Mengapa kalian tidak memberitahukan kematiannya kepadaku? Apakah kalian menganggap ia bukan orang penting di hadapan kalian? Tunjukkan kepadaku di mana kuburannya!” Tanya Rasulullah saw.
Lalu para sahabat bergegas menunjukkan kuburannya. Setelah sampai di makamnya, Rasulullah saw shalat dan mendoakannya. Kemudian ia bersabda, “Sesungguhnya kubur ini terisi dengan kegelapan atas penghuninya dan Allah meneranginya bagi mereka karena aku telah menyalatkannya.” 
Sudah saatnya kita mewarnai kemakmuran masjid bukan hanya dengan melaksanakan ibadah salat, tadarus, i’tikaf, dan majlis ta’lim saja, kitapun harus mewarnainya dengan kepedulian kita untuk  memelihara kebersihan lingkungan sekitarnya, terutama jamban masjid. Agar kemuliaan dan pahala kita bertambah setelah beribadah di masjid, kita harus berani menjadi “Ummu Mahjan” yang rela menyisihkan waktu dan tenaganya untuk memelihara kebersihan dan keasrian masjid. Tingkat paling minimal, kita ikut menjaga kebersihan jamban, tidak merokok baik di dalam maupun di sekitar masjid, dan tidak membuang sampah sembarangan di sekitar masjid.

Salah satu dari tujuh orang yang akan mendapatkan perlindungan Allah kelak di padang Mahsyar adalah orang yang hatinya selalu peduli atau terkait dengan masjid. Ia merasa menyesal jika tak melaksanakan ibadah di masjid, juga tak rela jika ia melihat masjid tak terpelihara keindahan dan kebersihannya. Sudah saatnya kita memperhatikan kebersihan masjid dan lingkungannnya, dan menjadikannya sebagai ladang amal untuk meraih pahala dari-Nya, bukan malah menjadikannya sebagai “hotel gratis”, tempat istirahat dan tidur siang. ***
Dimuat di Koran Galamedia Bandung, Edisi 5 Agustus 2016

Rabu, 03 Agustus 2016

SYARAT BERBUAT MAKSIAT

Gambar: www.solusiislam.com 
ASALKAN benar-benar memenuhi persyaratan seperti yang pernah dikemukakan Ibrahim bin Adham, salah seorang ulama sufi,  kepada seorang pemuda, kita bisa berbuat kemaksiatan sesuka hati. Kapanpun dan dimanapun kita boleh melakukannya.
Awal kisah, seorang pemuda memohon kepada Ibrahim bin Adham. “Izinkan aku berbuat maksiat sesuka hati, dan jangan kau cegah atau kau bahas dalam pengajian-pengajianmu!”
“Oh, ya jangan khawatir! Sebenarnya kamu, dan siapapun boleh berbuat maksiat sesuka hati, asal memenuhi lima persyaratan, yakni pertama kamu jangan tinggal di bumi milik Allah dan kedua kamu jangan memakan rezeki yang diberikan-Nya kepadamu.” Jawab Ibrahim bin Adham.
Mendengar jawaban tersebut sang pemuda terhentak. “Kalau syaratnya seperti ini siapapun tak akan sanggup melakukannya. Bukankan bumi dan rezeki yang aku makan, aku pakai, dan aku nikmati ini semuanya milik Allah?” Jawab Sang Pemuda.
“Kalau kamu  tak sanggup dengan dua syarat tersebut, cobalah syarat yang ketiga, lakukan kemaksiatan olehmu di tempat yang tidak dilihat Allah.” Lanjut Ibrahim bin Adham.
“Ah, tidak akan ada satu tempat pun yang luput dari pengawasan-Nya. Bukankah Dia Mahamelihat? Syarat ini pun aku tak sanggup memenuhinya” Jawab Sang Pemuda.
“Kalau kamu masih tak sanggup dengan ketiga syarat tersebut, cobalah dua syarat yang terakhir! Siapa tahu kamu akan mampu melakukannya. Dua syarat tersebut adalah ketika kamu sedang melakukan kemaksiatan, kemudian malaikat Izrail datang menjemputmu, kamu harus berani menolaknya. “Jangan kau cabut nyawaku! Orang lain saja yang kau cabut nyawanya. Aku masih ingin hidup!” Syarat terakhir, jika nanti di hari pembalasan, malaikat Jabaniyah menggiringmu masuk neraka, kamu harus mempersiapkan segala kekuatan untuk melawannya agar kamu bisa lari, dan kamu tidak jadi masuk neraka!” Jawab Ibrahim bin Adham.
Mendengar semua persyaratan tersebut, tak sepatah katapun keluar dari mulut Sang Pemuda, hanya tetesan air mata menjadi jawabannya. Baru kemudian ia berkata, “Wahai Abu Ishaq (panggilan kepada Ibrahim bin Adham)! Sudah lama aku ingin bertaubat, jawabanmu sangat bijak dan masuk akal. Bimbinglah aku kembali ke jalan-Nya. Jangan biarkan aku bergelimang dalam kemaksiatan!” Pinta Sang Pemuda.
Seandainya diri kita sendiri adalah Sang Pemuda itu, mampukah kita memenuhi persyaratan seperti yang dikemukakan Ibrahim bin Adham? Jika tidak, apakah sampai pada saat ini ada perasaan malu kepada Allah, sedih, dan menyesal atas perbuatan maksiat yang pernah kita lakukan?
Bulan Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk melakukan muhasabah, meneliti perbuatan kita, minimal perbuatan kita selama satu bulan ini. Jika banyak kebaikan yang kita lakukan, besar harapan kita Allah menerimanya. Jika sebaliknya, malah banyak keburukan dan kemaksiatan yang kita lakukan, Allah Mahapengampun, pintu taubat masih terbuka untuk kembali ke jalan-Nya.
Ibadah puasa Ramadan erat kaitannya dengan peningkatan ketakwaan. Dari sekian banyak kriteria orang bertakwa adalah malu, menyesal, dan bersedih atas perbuatan maksiat yang pernah dilakukan.

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Q. Surat Ali Imran : 135).

POKOK AJARAN ISLAM

Sumber Gambar :  http://f.tqn.com/y/islam/1/W/p/9/84664531.jpg
SEKURANG-KURANGNYA terdapat empat pokok dari ajaran Islam. Pertama ijtihadan wajtima’an. Bekerja keras atau sungguh-sungguh dan menjaga persatuan. Ajaran Islam memerintahkan kepada para penganutnya untuk bekerja keras dan sungguh-sunguh dalam berkarya. Sikap malas, berleha-leha dalam berkarya harus sangat dihindari oleh setiap muslim. Rasulullah saw senantiasa berdo’a agar dijauhkan dari sifat penakut dan malas. Allahumma inni a’udzu bika minal jubni walkasali. Selain bekerja keras, Islam juga memerintahkan untuk menjaga persatuan, dan persaudaraan. Dalam Al-qur’an banyak ayat yang memerintahkan agar kita menjaga persatuan dan menjauhi perpecahan.”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,” (Q. S. Ali Imran : 103).
Kedua, satrul ‘aurat. Menutup aurat. Aurat manusia terbagi kepada dua yakni aurat lahir dan aurat batin. Aurat lahir adalah bagian dari tubuh seseorang yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang yang bukan haknya, sedangkan aurat batin adalah berupa keaiban yang dimiliki oleh seseorang. Islam sangat menganjurkan untuk menutup kedua aurat tersebut. Namun demikian, harus diakui, kebanyakan dari kita baru mampu menutup aurat lahir, namun senang mengumbar aurat batin. Salah satu buktinya adalah kesenangan melakukan ghibah. Padahal, ajaran Islam sangat mengutuk sekali perbuatan ghibah, sebab ghibah merupakan perbuatan yang berupaya keras membuka aurat batin seseorang di hadapan umum. Allah menggambarkan ghibah sebagai perbuatan dosa yang sangat menjijikan. “Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Q. S. Al-Hujurat : 12). Rasulullah saw bersabda, salah satu syarat untuk mendapatkan pertolongan Allah adalah menutup aurat atau aib orang lain.
Ketiga, laa ilaah illallah. Tiada Tuhan selain Allah. Pokok dari ajaran Islam lainnya adalah keyakinan kepada Allah. Orang yang benar-benar yakin kepada Allah, ia akan menyandarkan segala perbuatannya hanya karena Allah. Sukses dan gagalnya dalam melakukan suatu perbuatan diserahkan kepada Alah. Ia tidak akan sombong ketika sukses, dan tidak akan putus asa manakala kegagalan menimpanya. Lebih dari itu, ia sangat meyakini bahwa segala sesuatu yang diperbuatnya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Buah utama dari keyakinan seorang muslim terhadap Allah adalah kehati-hatian dalam menjalani kehidupan ini.
Keempat, mujahadatun nafs. Mengendalikan diri. Salah satu bentuk pengendalian diri adalah menjaga akhlak, baik akhlak kepada Allah, akhlak kepada sesama manusia, maupun akhlak terhadap sesama makhluk Allah lainnya. Salah satu wujud Islam yang rahmatan lil’alamin adalah akhlak yang mulia. Manusia yang sempurna dalam pandangan Islam adalah manusia yang berakhlak mulia. Salah satu faktor keberhasilan dakwah Rasulullah saw adalah kemampuannya dalam menonjolkan kemuliaan akhlaknya, baik di hadapan para sahabat maupun di hadapan orang-orang yang memusuhinya.

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan, “Islam itu sangat mulia, tak akan ada satu ajaran pun  yang mampu menandingi kemuliaannya”. Oleh karena itu, kewajiban setiap muslim untuk membuktikannya. Salah satu caranya adalah dengan mengamalkan keempat pokok dari ajaran Islam tersebut.

KESALEHAN PALSU

Gambar : bagindaery.blogspot.com
BUKAN hanya, ijazah, uang, atau vaksin saja yang bisa dipalsukan, kesalehan pun bisa dipalsukan. Salah satu buktinya, perilaku orang-orang dalam menghadapi Idulfitri. Pada umumnya orang memandang Idulfitri itu sebatas pakaian baru, makanan yang serba enak,  THR, mudik, dan liburan. Sementara hakikat spiritual idulfitri hampir terkubur dengan gemerlapnya kemewahan atau perilaku konsumtif menjelang “pesta” idulfitri.
Kesalehan kita pada umumnya baru sebatas permukaan, belum sampai ke dasar yang paling dalam, yakni hati nurani dan perilaku dalam kehidupan kita sehari-hari.  Kesalehan yang kita lakukan pada saat ini seolah-olah merupakan kesalehan “edisi terbatas” yang terbit hanya pada bulan Ramadan dan Idulfitri saja. Tradisi mudik hanya dimaknai sebatas pulang kampung sambil pamer kesuksesan. Padahal makna spiritual mudik yang sebenarnya terletak pada “mudiknya hati” kita ke jalan-Nya. Kesalehan pada hari nan suci hanya diperlihatkan melalui simbol-simbol yang selama ini dianggap sebagai simbol kesalehan. Bagi kaum pria  memakai baju koko, sarung, lengkap dengan pecinya dan bagi kaum hawa memakai baju muslimah meskipun cuma di hari Idulfitri saja.
Dalam hal memperlihatkan kesalehan dan ketaatan kepada Allah, kita harus malu kepada para sahabat Rasulullah saw. Bilal bin Rabaah yang berpenampilan sederhana salah satu contohnya. Dari sudut pandang fisik dan aksesoris keduniawian, ia bukanlah saudagar, namun dialah yang pernah disebutkan Rasulullah saw sebagai ahli sorga. Rahasianya satu, hatinya sarat dengan keimanan yang diwujudkan dalam perilaku saleh secara istikamah, bukan ditampilkan dalam simbol-simbol kesalehan yang hanya sesaat. Demikian pula dengan Amr bin Yassar. Dalam tekanan fisik dan psikologis setelah melihat kedua orang tuanya Yassar dan Sumayyah disiksa dan dibunuh oleh kelompok Abu Jahal, ia terpaksa secara lisan mengucapkan “aku benci Muhammad”, tetapi hatinya menjerit dan menangis. “Ya Allah! Aku tetap bersaksi Engkau Tuhanku, dan Muhammad adalah Nabi dan Rasul-Mu”. Sejak mengucapkan “aku benci Muhammad”, ia sakit berbulan-bulan. Barulah ia sembuh dan berbahagia tatkala mendengar Rasulullah saw  menerima wahyu, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir,  padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Surat An-Nahl :106).
Kondisi ini berbanding terbalik dengan kita yang senantiasa menampakkan simbol-simbol kesalehan di hadapan manusia,  sementara hati dan perilaku kita kosong dari nilai-nilai ketaatan dan kesalehan. Kita seharusnya malu dan merasa berdosa dengan kepura-puraan kita selama ini.

Hakikat Idulfitri bukanlah memakai pakaian baru, tetapi terletak pada kualitas keimanan dan ketakwaan kita setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Pada Idulfitri nan suci, Imam Ali bin Abi Thalib dengan berlinang air mata dalam khotbahnya berujar, “Andaikan aku mengetahui kepada orang-orang yang ibadahnya selama Ramadan diterima Allah, sungguh aku akan mengucapkan selamat berbahagia. Sebaliknya, andaikan aku mengetahui kepada orang-orang  yang ibadahnya selama Ramadan ditolak Allah, sungguh aku akan melayatnya, sebab ia tengah dilanda musibah besar.”

IBADAH YANG MABRUR



Gambar :munatour.co.id
SEBENARNYA bukan hanya ibadah haji saja yang harus mabrur, tapi semua ibadah yang kita lakukan harus mencapai derajat mabrur. Allah sangat menghargai ibadah hamba-Nya yang mabrur.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga syarat yang harus ditempuh agar ibadah kita mabrur. Pertama, ikhlas. Suatu perbuatan ibadah tidak akan diterima Allah, meskipun secara ilmu fikih memenuhi syarat dan rukun ibadah yang sah, manakala tidak disertai dengan niat ikhlas dalam melaksanakannya. Ikhlas sendiri merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai iman yang tertanam kuat dalam hati seorang hamba.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (Q. S. Al-Bayyinah : 5).
Ibadah yang dilaksanakan bukan karena Allah hanya akan membuahkan kesia-sian yang berujung kepada datangnya azab Allah. Dalam H. R. Abu Daud disebutkan, “Berlindunglah kalian kepada Allah swt dari Jubb al-Huzn!” Mereka bertanya, ‘Apakah Jubb al-Huzn itu, ya Rasulallah saw?’ Ia menjawab, ‘Yaitu sebuah lembah di neraka Jahannam, yang neraka Jahannam itu sendiri memohon perlindungan kepada Allah swt darinya seratus kali setiap hari’. Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah saw! Siapakah orang yang akan memasuki lembah itu?’ Ia menjawab, ‘Para pembaca Al-Qur’an yang ria dengan perbuatannya.’ ”
Kedua, sesuai ketentuan Allah dan Rasulullah saw. Suatu ibadah yang dalam pelaksanaannnya tidak sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya akan ditolak oleh Allah swt. Dalam sebuah hadits yang sudah masyhur Rasulullah saw bersabda, “Kerjakanlah salat oleh kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan salat” (H. R. Muttafaqun 'alaih). Sabda Rasulullah saw ini bermakna isyarat bahwa ibadah yang kita lakukan harus sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
“Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu, dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui” (Q. S. Al-Jasiyah:18).
Ketiga, sungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Sungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah merupakan wujud dari keikhlasan dalam beribadah. Allah sangat mencintai orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah atau melakukan suatu kebaikan.
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang sungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu perbuatan baik” (H. R. Abu Ya’la dan Thabrani).
Ibadah yang mabrur merupakan ibadah yang paling utama, sebab ibadah yang mabrur merupakan ibadah yang diterima oleh Allah swt. Ibadah yang diterima oleh Allah swt berarti ibadah yang menghasilkan pahala berupa rida, ampunan, dan tentunya surga Allah swt. Seberat apapun tantangan dan godaan yang kita hadapi ketika melaksanakan ibadah kepada Allah, berjuanglah sekeras mungkin agar ketiga persyaratan ibadah yang mabrur mampu kita miliki, dan berlindunglah kepada Allah dari ibadah yang dilaksanakan dengan ria dan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.