Rabu, 03 Agustus 2016

KESALEHAN PALSU

Gambar : bagindaery.blogspot.com
BUKAN hanya, ijazah, uang, atau vaksin saja yang bisa dipalsukan, kesalehan pun bisa dipalsukan. Salah satu buktinya, perilaku orang-orang dalam menghadapi Idulfitri. Pada umumnya orang memandang Idulfitri itu sebatas pakaian baru, makanan yang serba enak,  THR, mudik, dan liburan. Sementara hakikat spiritual idulfitri hampir terkubur dengan gemerlapnya kemewahan atau perilaku konsumtif menjelang “pesta” idulfitri.
Kesalehan kita pada umumnya baru sebatas permukaan, belum sampai ke dasar yang paling dalam, yakni hati nurani dan perilaku dalam kehidupan kita sehari-hari.  Kesalehan yang kita lakukan pada saat ini seolah-olah merupakan kesalehan “edisi terbatas” yang terbit hanya pada bulan Ramadan dan Idulfitri saja. Tradisi mudik hanya dimaknai sebatas pulang kampung sambil pamer kesuksesan. Padahal makna spiritual mudik yang sebenarnya terletak pada “mudiknya hati” kita ke jalan-Nya. Kesalehan pada hari nan suci hanya diperlihatkan melalui simbol-simbol yang selama ini dianggap sebagai simbol kesalehan. Bagi kaum pria  memakai baju koko, sarung, lengkap dengan pecinya dan bagi kaum hawa memakai baju muslimah meskipun cuma di hari Idulfitri saja.
Dalam hal memperlihatkan kesalehan dan ketaatan kepada Allah, kita harus malu kepada para sahabat Rasulullah saw. Bilal bin Rabaah yang berpenampilan sederhana salah satu contohnya. Dari sudut pandang fisik dan aksesoris keduniawian, ia bukanlah saudagar, namun dialah yang pernah disebutkan Rasulullah saw sebagai ahli sorga. Rahasianya satu, hatinya sarat dengan keimanan yang diwujudkan dalam perilaku saleh secara istikamah, bukan ditampilkan dalam simbol-simbol kesalehan yang hanya sesaat. Demikian pula dengan Amr bin Yassar. Dalam tekanan fisik dan psikologis setelah melihat kedua orang tuanya Yassar dan Sumayyah disiksa dan dibunuh oleh kelompok Abu Jahal, ia terpaksa secara lisan mengucapkan “aku benci Muhammad”, tetapi hatinya menjerit dan menangis. “Ya Allah! Aku tetap bersaksi Engkau Tuhanku, dan Muhammad adalah Nabi dan Rasul-Mu”. Sejak mengucapkan “aku benci Muhammad”, ia sakit berbulan-bulan. Barulah ia sembuh dan berbahagia tatkala mendengar Rasulullah saw  menerima wahyu, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir,  padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Surat An-Nahl :106).
Kondisi ini berbanding terbalik dengan kita yang senantiasa menampakkan simbol-simbol kesalehan di hadapan manusia,  sementara hati dan perilaku kita kosong dari nilai-nilai ketaatan dan kesalehan. Kita seharusnya malu dan merasa berdosa dengan kepura-puraan kita selama ini.

Hakikat Idulfitri bukanlah memakai pakaian baru, tetapi terletak pada kualitas keimanan dan ketakwaan kita setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Pada Idulfitri nan suci, Imam Ali bin Abi Thalib dengan berlinang air mata dalam khotbahnya berujar, “Andaikan aku mengetahui kepada orang-orang yang ibadahnya selama Ramadan diterima Allah, sungguh aku akan mengucapkan selamat berbahagia. Sebaliknya, andaikan aku mengetahui kepada orang-orang  yang ibadahnya selama Ramadan ditolak Allah, sungguh aku akan melayatnya, sebab ia tengah dilanda musibah besar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar